Hai, 2016

Standard

Hai, rumahku… karena sejatinya kamu adalah rumah, maka ketika saya masih pergi (baca: jarang posting), saya tidak bermaksud untuk lupa…#halah

Okey….welcome to the new year. 2016 ini mungkin jadi tahun kita (you know whom I mean) untuk menutup hitungan dan memulai hitungan yang baru, semoga yah…..*ehm

Well, selamat tahun baru, dunia….

image

the word “first”

Standard

Kata yang biasanya saya takuti dan lebih memilih untuk mengindar. Padahal, orang tak berakal pun tahu kalau tak ada yang bisa bebas dari kata atau kondisi ini. Shinichi pernah meng-qoute “zero is where anything starts, nothing can’t be done without departing from it” kira-kira begitu walaupun redaksinya tidak selebay itu. Kenapa bisa begitu? Mungkin karena naluri manusia tidak bisa jauh-jauh dari zona nyaman mereka. Padahal zona nyaman bisa dirasakan melalui proses yang kadang tidak seinstan masak mie goreng. Dan ketika memulai hal baru, rasa males, takut, pesimis akan proses itu mulai muncul yang akhirnya membuat manusia (terutama saya) lebih memilih untuk menghindari kata “pertama”. Bisa kah? sudah pasti mustahil kecuali saya mau mandeg aja di tempat dan tidak mau melihat indahnya dunia luar sana.

Tetap saja, walaupun saya tidak bisa menghindar, saya tidak bisa menggap kondisi “pertama” sebagai kondisi yang “ah santai aja lah…”. Just like now….saya sedang berada di kondisi “pertama” memulai coretan baru di lembaran kehidupan saya selanjutnya. Yogyakarta, sekarang menjadi kota tempat saya melihat sisi lain dari dunia ini (dengan kaca mata usang saya tentunya). Kalau ditanya “sudah sering jauh dari orang tua?” udah sejak lulus sekolah dasar saya sudah tidak mengenal Salatiga lagi. 6 tahun di Solo, 2 tahun di Semarang, 4 tahun di Mesir. Kurang kah pengalaman saya jauh dari orang tua? But why…..this is felt so hard?? -_-. Lagi, Yogya itu tempat pertama yang pengen saya kunjungi setelah kepulangan dari Mesir (if you know what I mean).

well, the word “first” is hard. But the hardest you feel, the sweetest you get, kata orang sih begitu. ngutip kata temen saya yang sebenarnya bukan buat saya, hanya pernah membaca di statusnya “jangan menyerah di 5 menit pertama”. Oke, let’s pass this first five minutes and see what will happen next??

note: this is post, that I write and post with my new office computer on my new desk on my first day, hihihi

Romadhon with the Babies

Standard
(dari kanan) JiGook, Gembrot, Goro dan Snow White

(dari kanan) JiGook, Gembrot, Goro dan Snow White

Kalau sebelum ini saya bercerita sedang menjadi ibu asuh bagi 5 bayi kucing bersama 5 teman yang lain plus orang Thailand, tepat kiranya kalau saya juga kembali berbagi suka duka menjadi ibu bagi mereka. Mungkin saja suatu saat saya pengen bernostalgia dengan mereka.

Romadhon memang mempunyai cerita unik di tiap tahunnya. Tahun ini (yang semoga menjadi tahun terakhir Romadhon saya di Mesir) saya lewati dengan belajar sabar merawat bayi-bayi kucing. Yup, belajar sabar. Sabar mendengar teriakan mereka ketika lapar, sabar membersihkan kotoran mereka bahkan mengelap pantat mereka agar mereka bisa mengeluarkan kotoran. Beberapa kali browsing bagaimana cara merawat bayi kucing yang tak ber-ibu.

snow white...

snow white…

Untung saja, satu lorong di gedung kamar saya tidak ada yang membenci kucing. Mungkin ada yang tidak suka, tapi tak ada yang protes ketika jam-jam sahur mereka harus diributkan dengan suara teriakan kucing mengharap jatah sahur juga. Bahkan teman saya si Wawa sesama pecinta kucing pindahan ke kamar saya biar bisa ikut merawat bayi-bayi ini, karena kamar dia terletak di gedung yang berbeda.

Selain ketika sahur, bayi-bayi ini akan terbangun kembali sekitar jam 10 atau 11 pagi. Agar tidak ketahuan ablah buuts, mereka kami sembunyikan di dalam kamar dengan bertempat kardus. Karena 2 minggu pertama mereka belum bisa pipis sendiri, kami pun tidak khawatir meninggalkan mereka di kamar. Baru ketika usia mereka memasuki 3 minggu, mereka bisa pipis dengan sendirinya, dan akhirnya membuat kami harus mencari tempat lain untuk menghindarkan mereka dari ablah. Atap gedung jadi tempat kedua kami untuk mengamankan mereka.

Disinilah kesabaran kami harus mulai ditambah. Karena pipis mereka yang masih di tempat mereka duduk, dan belum bisa mencari tempat lain, berungkali kali alas mereka harus kami ganti dengan yang baru agar mereka nyaman. kebutuhan akan susu juga mulai bertambah. Suara teriakan mereka pun semakin kencang, yang kadang terpaksa membuat kami terbangun dan segera menuju ke atap. Masih dengan dot yang sedari awal kami siapkan, mereka mulai bisa membuka mulut sendiri dan mencari posisi yang pas untuk ngedot. Ah….tapi keribetan-keribetan itu selalu saja sirna ketika melihat keimutan wajah dan tingkah mereka yang semakin membahagiakan hahaha.

tempat tidur favorit Goro, Sepatu :D

tempat tidur favorit Goro, Sepatu 😀

Pojokan ruangan di atap gedung pun mulai meng-eneg-kan mata ketika mereka akhirnya bisa mencari pojokan untuk pipis dan pup, banyak ranjau yang membuat kami harus tutup hidung menahan baunya yang menyengat. Harus mulai memandikan mereka yang belum bisa membersihkan diri sendiri. Baru kali ini rasanya saya memandikan bayi kucing yang sensasinya luar biasa haha *iya ini lebay. Read the rest of this entry

My (Last) Romadhon (part 2)

Standard

Oke, mari melanjutkan cerita kita tentang tarling di Cairo. Masjid selanjutnya, masjid tempat saya ketemu syeikh Syadzuli 2-3 kali seminggu, masjid Sholeh Ja’fari. Tempatnya sangat strategis karena terletak persis di terminal akhir Darrosah. Interior yang Romadhon tahun ini diperbarui di masjid ini membuat mata saya segar ketika menghabiskan waktu di dalam. Dengan kipas angin yang hampir rata di seluruh ruangan, membuat kita lupa kalau romadhon jatuh di musim panas. Hampir kaya di Masjid Wonokerto, dengan 20 rekaat tarawih dan 3 witir dengan ayat-ayat pendek membuat tarawih disini tidak terlalu menghabiskan tenaga dan waktu :).

interior masjid Arrohman Arrohim

interior masjid Arrohman Arrohim

Berbeda dengan Masjid Ja’fari yang tidak begitu megah, masjid Arrohman Arrohim yang berada tidak jauh juga dengan Buuts ini terkenal dengan kemegahannya. Selain untuk sholat, masjid ini sering kali digunakan orang Mesir (tentunya yang kaya) untuk mengadakan walimahan. Interior masjid pun tak kalah megahnya dengan bangunan dari luar, yang nonstop dan segar (lebih ke membuat ngantuk tepatnya) membuat sholat dengan banyak jamaah tidak terasa sumpek. karena mushola sayyidat berada di atas, ada LCD layar lebar untuk melihat imam nya secara live. Sholat dengan 8 tarawih ini hampir sainterior masjid Arrohman Arrohiminterior masjid Arrohman Arrohimma dengan masjid Syurthoh yang menghabiskan waktu kurang lebih 2 jam. Selain untuk menikmati sholat yang nyaman, jamaah (lebih tepatnya saya dan teman2) tidak lupa narsis dulu di depan masjid untuk mengabadikan kemegahan masjid ini hahaha.

masji Arrohman Arrohim (tampak dari depan)

masji Arrohman Arrohim (tampak dari depan)

Next, Masjid yang sejak awal saya di Mesir menjadi masjid pilihan untuk sholat tarawih ketika harus buka puasa di luar. Karena letaknya di awal sabi’ (dekat dengan kuliah banat) dimana semua bus yang ke buuts melewatinya, masjid yang menghabiskan 8 rekaat tarawih dengan singkat ini membuat kami (anak buuts) tidak harus melanggar jam ta’khir masuk buuts. Yup, Masjid Nur el Khottob. Dengan ruangan sayyidat yang tidak begitu luas, masjid ini tetap menjadi pilihan anak-anak buuts untuk melaksanakan sholat tarawih ketika waktu mendesak hehehe.

Tidak jauh lokasinya dengan masjid Nur Khitob, masjid Rob’ah Adawiyah juga menjadi salah satu masjid yang pernah saya kunjungi. Kalau anda tidak lupa kejadian 1 tahun yang lalu tepatnya di bulan Juni 2013, Masjid ini lah yang menjadi markaz utama demonstran pendukung presiden terakhir Mesir yang terguling (you know who). Sejak saat itu sampai sekarang walaupun sudah stabil seperti semula dan direnovasi sana sini, saya tetap belum pernah ke sana lagi :D. Tapi, kenangan sholat di masjid ini masih mennyenangkan. Sholat di halaman masjid beratap langit, menjadi pilihan saya dibanding masuk ke dalam masjid, karena udara yang lebih segar dan akses kemana pun yang lebih gampang. Kultum yang mengisis sela-sela 4 rekaat tarawih di masjid ini tidak membuat tarawih di sini memakan waktu yang lama. Karena bacaan pendek dengan intonasi yang santai (tidak terlalu cepat) di sholat tarawihnya, kurang lebih 1 jam sholat tarawih di masjid ini sudah bisa diselesaikan.

Sebelum terakhir, masjid yang paling dekat dengan Buuts tapi paling jarang saya kunjungi, Masjid Nady Moyah. Pilihan sholat di masjid ini menjadi pilihan terakhir ketika badan capek tapi males sholat sendirian di masjid al ikhlas (baca: di kamar sendiri). Dengan bacaan ayat-ayat pendek dan gerakan sholat yang cepat, 8 rekaat tarawih plus witir selesai kurang dari 30 menit (nah lho). Masjid ini jadi mengingatkan saya jamaah di pondok Al Muayyad yang di ndalem, karena durasi  yang terhitung sangat singkat. Cepat sih…..tapi kurang nikmat haha. Read the rest of this entry